Sabtu, 17 Oktober 2015

Yayasan Sosial Yatim Piatu dan Dhuafa Al Mukhtar


Pondok Pesantren Al Mukhtar yang terletak di desa Penggalang Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap didirikan pada tanggal 1 Maret 2002 oleh Kyai Achmad Tamam, seorang ulama yang berasal dari daerah tersebut. Pendirian Pondok Pesantren ini pada hakikatnya dilandasi oleh rasa tanggung jawab pribadi beliau selaku hamba Allah untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran serta adanya tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat terhadap anak yatim piatu dan dhu’afa untuk membina dan mendidik umat dalam mempelajari, memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberian nama Al Mukhtar, disamping merupakan usulan dari KH Ahmad Mustholih Badawi Hanafi seorang ulama besar di Kabupaten Cilacap, juga merupakan hasil dari musyawarah bersama yang kemudian menyetujuinya sebagai nama pondok pesantren tersebut. Dengan dipilihnya nama “AL MUKHTAR” yang mempunyai arti “Yang Dipilih” ini diharapkan Pondok Pesantren Al Mukhtar disamping bisa menjadi lembaga pendidikan islam, juga sebagai tempat mendalami agama (tafaqquh fi al-dien), yang mampu memberikan sinar pencerahan dan menerangi serta mengarahkan umat dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (al-sa’adah fi al-darayn).
Pondok Pesantren Al Mukhtar mayoritas (90%) para santrinya merupakan kaum dhu’afa dan yatim piatu yang berasal dari masyarakat sekitar dan dari berbagai daerah di Kabupaten Cilacap dan Banyumas bahkan berasal dari luar jawa.
Dalam perkembangannya Pondok Pesantren Al Mukhtar menjadi sebuah Yayasan dengan akta notaris No 34 tanggal 19 Januari 2005 yang bergerak dalam bidang pendidikan dan panti asuhan yang mengelola dan mengasuh santri dari kaum dhu’afa dan yatim piatu hingga sekarang (2014) dengan jumlah santri yang menetap sebanyak 340 (168 santri putra dan 172 santri putri.
1.      Perkembangan Pondok Pesantren Al Mukhtar
Sampai saat ini Yayasan Pondok Pesantren Al Mukhtar telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama yang berkaitan dengan bidang pendidikan. Banyak lembaga pendidikan dibawah Yayasan Al Mukhtar yang didirikan selama kurun waktu empat tahun terakhir. Dari berbagai lembaga tersebut, semakin hari semakin berkembang baik, jumlah siswa/santri maupun jenis usaha yang telah dilakukan. Sehingga memunculkan masalah baru terutama bagaimana menyediakan berbagai fasilitas yang memadai dan saat ini yang paling dirasakan adalah bagaimana caranya agar dapat mambangun Asrama pondok pesantren  di lingkungan Pondok Pesantren Al Mukhtar.

Kiyai
Lain halnya dengan sebutan kiyai, yang bukan istilah baku dari agama Islam. Panggilan kiyai bersifat sangat lokal, mungkin hanya di pulau Jawa bahkan hanya Jawa Tengah dan Timur saja. Di Jawa Barat orang menggunakan istilah Ajengan.
Biasanya istilah kiyai juga disematkan kepada orang yang dituakan, bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam masalah lainnya. Bahkan benda-benda tua peninggalan sejarah pun sering disebut dengan panggilan kiyai.
Melihat realita ini, sepertinya panggilan kiayi memang tidak selalu mencerminkan tokoh agama, apalagi ulama.  Sedangkan panggilan ustadz, biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih berlaku buat kita di Indonesia ini saja.
Istilah ini konon walau ada dalam bahasa Arab, namun bukan asli dari bahasa Arab. Di negeri Arab sendiri, istilah ustadz punya kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz. Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama.
Jadi istilah ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama biasa.
Adapun nama tokoh seperti yang anda sebutkan di atas, mungkin lebih tepat untuk disebut dengan profesinya, yaitu penceramah. Karena kerjanya memang berceramah ke sana ke mari. Sedangkan untuk disebut sebagai ulama atau ustadz, kalau kita mengacu kepada penggunaan istilah yang baku dan formal, rasanya memang kurang tepat.
Dengan demikian dakwah akan mengantarkan kita kepada tugas-tugas yang meliputi kesadaran yang amat luas. Sebagai ilustrasi misalnya, dalam pengertian da'I bukan saja mencakup mubaligh (dalam makna yang sempit), malainkan juga mereka akan tekun mengkaji dam menyebarkan nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang secara teknis mudah dijalankan dalam masyarakat (Operasional). Termasuk juga dalam pengertian da'i, mereka para pekerja sosial, para penggerak masyarakat, para penyantun fakir miskin dan anak yatim, para pendidik, pada penulis, dan siapapun yang kegiatannya itu dalam rangka menterjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Disisi lain, fungsi kerahmatan dakwah juga mengisyaratkan, adanya tuntutan bagi mereka yang terpanggil sebagai khairu ummah, membuktikan kebenaran islam sebagai rahmatan lil alamin. Suatu tugas akbar, yakni menterjemahkan Islam dalam konsep-konsep kehidupan yang dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul dalam sistem budaya manusia.
Dalam perkembangannya, khususnya di kalangan masyarakat muslim Indonesia, gelar ini tidak hanya disandang oleh para da'i dari Yaman saja, karena warga telah memuliakan mereka sebagai pemimpin mereka tanpa melihat asal-usul keturunan dengan alasan seorang menjadi alim tidak diakibatkan oleh asal keturunannya. Selain itu terjadi pula pelanggaran terhadap aturan, dengan menarik garis keturunan secara matrilineal (keturunan dari perempuan juga diberi hak menyandang "habib") walaupun akhirnya pernyataan ini hanyalah sebuah fitnah dari kaum orientalis untuk menghilangkan rasa hormat masyarakat ndonesia terhadap kaum kerabat Nabi Muhammad. 

Gus
Gus juga identik dengan NU. Maklum, Gus adalah sub kultur pesantren, terutama pesantren Jawa. Di lingkungan pesantren, orang dengan mudah menyebut Gus kepada seorang yang dihormati. Dan yang dipanggil Gus juga merasa dihargai karena secara strata sosial panggilan Gus memang lebih tinggi dan mengandung makna penghormatan, paling tidak secara kultural.
Namun Gus kadang juga bermakna kontroversial. Nah, ini tampaknya karena popularitas panggilan Gus itu bermula dari Gus Dur yang dikenal luas sebagai tokoh kontroversial. Secara berseloroh bahkan saya katakan Gus Dur itu kontroversial karena masyarakat selalu memanggil Gus Dur. Hanya dalam acara-acara resmi dan tertentu saja masyarakat memanggil Gus Dur dengan sebutan KH Abdurrahman Wahid. Kebiasaan ini tentu mengimbas kepada Gus yang lain. KH Ir Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, misalnya. Orang merasa lebih nyaman memanggil Gus Solah

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!