Kiyai
Biasanya istilah kiyai juga disematkan kepada orang yang dituakan, bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam masalah lainnya. Bahkan benda-benda tua peninggalan sejarah pun sering disebut dengan panggilan kiyai.
Melihat realita ini, sepertinya panggilan kiayi memang tidak selalu mencerminkan tokoh agama, apalagi ulama. Sedangkan panggilan ustadz, biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih berlaku buat kita di Indonesia ini saja.
Istilah ini konon walau ada dalam bahasa Arab, namun bukan asli dari bahasa Arab. Di negeri Arab sendiri, istilah ustadz punya kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz. Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama.
Jadi istilah ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama biasa.
Dengan demikian dakwah akan mengantarkan kita kepada tugas-tugas yang
meliputi kesadaran yang amat luas. Sebagai ilustrasi misalnya, dalam
pengertian da'I bukan saja mencakup mubaligh (dalam makna yang sempit),
malainkan juga mereka akan tekun mengkaji dam menyebarkan nilai-nilai
normatif Islam menjadi konsep-konsep yang secara teknis mudah dijalankan
dalam masyarakat (Operasional). Termasuk juga dalam pengertian da'i,
mereka para pekerja sosial, para penggerak masyarakat, para penyantun
fakir miskin dan anak yatim, para pendidik, pada penulis, dan siapapun
yang kegiatannya itu dalam rangka menterjemahkan Islam sebagai rahmatan
lil alamin. Disisi lain, fungsi kerahmatan dakwah juga mengisyaratkan,
adanya tuntutan bagi mereka yang terpanggil sebagai khairu ummah,
membuktikan kebenaran islam sebagai rahmatan lil alamin. Suatu tugas
akbar, yakni menterjemahkan Islam dalam konsep-konsep kehidupan yang
dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul dalam sistem budaya
manusia.
Dalam perkembangannya, khususnya di kalangan masyarakat muslim
Indonesia, gelar ini tidak hanya disandang oleh para da'i dari Yaman
saja, karena warga telah memuliakan mereka sebagai pemimpin mereka tanpa
melihat asal-usul keturunan dengan alasan seorang menjadi alim tidak
diakibatkan oleh asal keturunannya. Selain itu terjadi pula pelanggaran
terhadap aturan, dengan menarik garis keturunan secara matrilineal
(keturunan dari perempuan juga diberi hak menyandang "habib") walaupun
akhirnya pernyataan ini hanyalah sebuah fitnah dari kaum orientalis
untuk menghilangkan rasa hormat masyarakat ndonesia terhadap kaum
kerabat Nabi Muhammad.
Gus
Gus juga identik dengan NU. Maklum, Gus adalah sub kultur pesantren, terutama
pesantren Jawa. Di lingkungan pesantren, orang dengan mudah menyebut Gus kepada
seorang yang dihormati. Dan yang dipanggil Gus juga merasa dihargai karena
secara strata sosial panggilan Gus memang lebih tinggi dan mengandung makna
penghormatan, paling tidak secara kultural.
Namun Gus kadang juga bermakna kontroversial. Nah, ini tampaknya karena
popularitas panggilan Gus itu bermula dari Gus Dur yang dikenal luas sebagai
tokoh kontroversial. Secara berseloroh bahkan saya katakan Gus Dur itu
kontroversial karena masyarakat selalu memanggil Gus Dur. Hanya dalam
acara-acara resmi dan tertentu saja masyarakat memanggil Gus Dur dengan sebutan
KH Abdurrahman Wahid. Kebiasaan ini tentu mengimbas kepada Gus yang lain. KH Ir
Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, misalnya. Orang merasa lebih nyaman memanggil
Gus Solah
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dengan baik. Untuk kemajuan bersama